SEJARAH DAN KEBUDAYAAN PROVINSI BANTEN

Banten pada
masa lalu merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai,
serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur. Banten pada abad ke 5
merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara. Salah satu prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara adalah Prasasti Cidanghiyangatau prasasti
Lebak, yang ditemukan di kampung lebak di tepi Ci Danghiyang, Kecamatan Munjul, Pandeglang, Banten. Prasasti
ini baru ditemukan tahun 1947 dan berisi 2 baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Isi prasasti tersebut mengagungkan
keberanian rajaPurnawarman. Setelah runtuhnya kerajaan Tarumanagara (menurut beberapa sejarawan ini
akibat serangan kerajaan Sriwijaya), kekuasaan di bagian baratPulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Ci Serayu dan Kali Brebes dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda. Seperti dinyatakan oleh Tome Pires, penjelajah Portugispada tahun 1513, Banten menjadi salah satu pelabuhan penting dari Kerajaan Sunda. Menurut sumber
Portugis tersebut, Banten adalah salah satu pelabuhan kerajaan itu selain
pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Kalapa, dan Cimanuk.
Diawali
dengan penguasaan Kota Pelabuhan Banten, yang dilanjutkan dengan merebut Banten Girang dari Pucuk Umun pada tahun 1527, Maulana Hasanuddin, mendirikan Kesultanan Banten di wilayah bekas Banten Girang. Dan
pada tahun 1579, Maulana Yusuf, penerus Maulana Hasanuddin, menghancurkan Pakuan Pajajaran, ibukota atau
pakuan (berasal dar kata pakuwuan) Kerajaan Sunda. Dengan demikian pemerintahan
di Jawa Barat dilanjutkan oleh Kesultanan Banten. Hal itu ditandai dengan
diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja
dinobatkan, dari Pakuan Pajajaran ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana
Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke Banten karena
tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama, dengan
dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja
baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus
kekuasaan Kerajaan Sunda yang "sah" karena buyut perempuannya adalah
puteri Sri Baduga Maharaja.
Ketika sudah
menjadi pusat Kesultanan Banten, sebagaimana dilaporkan oleh J. de Barros,
Banten merupakan pelabuhan besar di Asia Tenggara, sejajar dengan Malaka dan Makassar. Kota Banten terletak di pertengahan pesisir sebuah teluk, yang
lebarnya sampai tiga mil. Kota itu panjangnya 850 depa. Di tepi laut kota itu
panjangnya 400 depa; masuk ke dalam ia lebih panjang. Melalui tengah-tengah kota ada sebuah
sungai yang jernih, di mana kapal jenis jung dan gale dapat berlayar masuk.
Sepanjang pinggiran kota ada sebuah anak sungai, di sungai yang tidak seberapa
lebar itu hanya perahu-perahu kecil saja yang dapat berlayar masuk. Pada sebuah
pinggiran kota itu ada sebuah benteng yang dindingnya terbuat dari bata dan
lebarnya tujuh telapak tangan. Bangunan-bangunan pertahanannya terbuat dari
kayu, terdiri dari dua tingkat, dan dipersenjatai dengan senjata yang baik. Di
tengah kota terdapat alun-alun yang digunakan untuk kepentingan kegiatan
ketentaraan dan kesenian rakyat dan sebagai pasar di pagi hari. Istana raja
terletak di bagian selatan alun-alun. Di sampingnya terdapat bangunan datar
yang ditinggikan dan beratap, disebut Srimanganti, yang digunakan sebagai
tempat raja bertatap muka dengan rakyatnya. Di sebelah barat alun-alun
didirikan sebuah mesjid agung.
Pada awal
abad ke-17 Masehi, Banten merupakan salah satu pusat perniagaan penting dalam
jalur perniagaan internasional di Asia. Tata administrasi modern pemerintahan
dan kepelabuhan sangat menunjang bagi tumbuhnya perekonmian masyarakat. Daerah
kekuasaannya mencakup juga wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Ketika orang Belanda tiba di Banten untuk pertama
kalinya, orang Portugis telah lama masuk ke Banten. Kemudian orang Inggris
mendirikan loji di Banten dan disusul oleh orang Belanda.
Selain itu, orang-orang Perancis dan Denmark pun
pernah datang di Banten. Dalam persaingan antara pedagang Eropa ini, Belanda
muncul sebagai pemenang. Orang Portugis melarikan diri dari
Banten
(1601), setelah armada mereka dihancurkan oleh armada Belanda di perairan
Banten. Orang Inggris pun tersingkirkan dari Batavia (1619) dan Banten (1684)
akibat tindakan orang Belanda.
Pada 1 Januari 1926 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan untuk
pembaharuan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih luas. Di Pulau
Jawa dibentuk pemerintahan otonom provinsi. Provincie West Java adalah
provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Hindia Belanda yang diresmikan dengan
surat keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan diundangkan dalam Staatsblad
(Lembaran Negara) 1926 No. 326, 1928 No. 27 jo No. 28, 1928 No. 438, dan 1932
No. 507. Banten menjadi salah satu keresidenan dalam Provincie West Java
disamping Batavia, Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon.
PENCAK SILAT
Pencak silat
merupakan seni beladiri yang berakar dari budaya asli bangsa Indonesia.
Disinyalir dari abad ke 7 Masehi silat sudah menyebar ke pelosok nusantara.
Perkembangan dan penyebaran silat secara historis mulai tercatat ketika
penyebarannya banyak dipengaruhi oleh kaum Ulama, seiring dengan penyebaran agama
Islam pada abad ke15 di Nusantara. Kala itu pencak silat telah diajarkan
bersama-sama dengan pelajaran agama di pesantren-pesatren dan juga surau-surau.
Budaya sholat dan silat menjadi satu keterikatan erat dalam penyebaran pencak
silat. Silat lalu berkembang dari sekedar ilmu beladiri dan seni tari rakyat,
menjadi bagian dari pendidikan bela negara untuk menghadapi penjajah. Disamping
itu juga pencak silat menjadi bagian dari latihan spiritual.
Banten yang namanya sangat dikenal untuk ilmu silatnya juga penyebarannya tidak
terlepas dari ajaran agama Islam. Tidak heran banyak nama dari jurus dan
gerakan perguruan silat asli Banten diambil dari aksara dan bahasa arab. Pencak
silat Banten mulai dikenal seiring dengan berdirinya kerajaan Islam Banten yang
didirikan pada abad 15 masehi dengan raja pertamanya Sultan Hasanudin.
Perkembangan pencak silat pada saat itu tidak terlepas dari dijadikannya silat
sebagai alat untuk penggemblengan para prajurit kerajaan sebagai bekal
ketangkasan bela negara yang diajarkan oleh para guru silat yang mengusasai
berbagai
aliran.
Silat juga sebagai dasar alat pertahanan kerajaan dan masyarakat umum Banten
dalam memerangi kolonialisme para penjajah.
Pada saat ini pun Banten masih dikenal dan diakui
secara luas dengan pendekar dan jawaranya, sebutan untuk orang-orang yang mahir
dalam ilmu silat.
DEBUS BANTEN
Debus merupakan kesenian bela diri dari Banten. Kesenian
ini diciptakan pada abad ke-16, pada masa pemerintahan Sultan Maulana
Hasanuddin (1532-1570). Debus, suatu kesenian
yang mempertunjukan kemampuan manusia yang luar biasa, kebal senjata tajam,
kebal api, minum air keras, memasukan benda kedalam kelapa utuh, menggoreng
telur di kepala dan lain-lain.
Debus dalam
bahasa Arab yang berarti senjata tajam yang terbuat dari besi, mempunyai ujung
yang runcing dan berbentuk sedikit bundar. Dengan alat inilah para pemain debus
dilukai, dan biasanya tidak dapat ditembus walaupun debus itu dipukul berkali
kali oleh orang lain. Atraksi atraksi kekebalan badan ini merupakan variasi
lain yang ada dipertunjukan debus. Antara lain, menusuk perut dengan benda
tajam atau tombak, mengiris tubuh dengan golok sampai terluka maupun tanpa
luka, makan bara api, memasukkan jarum yang panjang ke lidah, kulit, pipi
sampai tembus dan tidak terluka. Mengiris anggota tubuh sampai terluka dan
mengeluarkan darah tetapi dapat disembuhkan pada seketika itu juga, menyiram
tubuh dengan air keras sampai pakaian yang melekat dibadan hancur, mengunyah
beling/serpihan kaca, membakar tubuh. Dan masih banyak lagi atraksi yang mereka
lakukan.
Dibanten sendiri kesenian debus atau keahlian
melakukan debus menjadi sesuatu yang lumrah dan banyak perguruan yang mengajarkannya.
RUDAT BANTEN
Rudat adalah kesenian tradisional khas Banten yang
merupakan perpaduan unsur tari, syair shalawat, dan olah kanuragan yang berpadu
dengan tabuhan terbang dan tepuk tangan. Rudat terdiri dari sejumlah musik
perkusi yang dimainkan oleh setidaknya delapan orang penerbang (pemain musik )
yang mengiringi tujuh hingga dua belas penari.Menurut beberapa tokoh Rudat,
nama Rudat diambil dari nama alat yang dimainkan dalam kesenian ini. Alat musik
tersebut berbentuk bundar yang dimainkan dengan cara dipukul. Seni Rudat mulai
ada dan berkembang pada masa pemerintahan Sinuhun Kesultanan Banten II,
Pangeran Surosowan Panembahan Pakalangan Gede Maulana Yusuf (1570-1580 M).
Tidak
banyak yang mengetahui siapa yang menciptakan kesenian ini, karena sekarang
sesepuh yang mengetahui seluk-beluk Rudat sangat sedikit bahkan sebagian sudah
meninggal. Naskah yag berisi sejarah Rudat dan nilai-nilai filosofis tentang
rudat pun hanya dimiliki oleh satu sampai dua orang yang salah satunya
merupakan anak dari mendiang pemilik naskah yang menjadi sesepuh disana.
Meskipun tidak banyak yang mengetahui pencipta
kesenian ini, warga Sukalila meyakini bahwa Rudat sebetulnya jurus silat yang
dikembangkan menjadi tarian. Langkah-langkahnya merupakan langkah-langkah silat
yang dikembangkan menjadi tarian dan diiringi musik dan shalawat.Seni
tradisional Banten ini menjadi rangkaiaan utama tatkala Kesultanan Banten
mengadakan hajat besar atau dalam acara penyambutan tamu kehormatan yang
berasal dari mancanegara.
Pasang surut Seni Rudat sangat erat kaitannya
dengan sejarah Kesultanan Banten. Saat kedatangan Belanda, Seni Rudat malah
terkubur. Pada zaman Sinuhun Kasultanan Banten IV Pangeran Panembahan
Maulana Abdulmufakir Mahmudin Abdul Kadir (1596-1651 M) seni tradisional khas
Banten ini benar-benar dilarang Belanda karena dicurigai sebagai ajang untuk
mengumpulkan masa untuk berlatih bela diri dan menghimpun kekuatan untuk
menentang Belanda
TARI DZIKIR SAMAN
Dzikir Saman
yang ada di Banten berbeda dengan Saman yang ada di Aceh, disini para pemainnya
terdari dari laki-laki dengan membentuk lingkaran. Sambil berputar, sambil
menyebutkan shalawat Nabi Muhammad SAW. Seni Dzikir Saman ini tidak diiringi
dengan perangkat alat musik, hanya nyanyian dengan menyebut asma Allah, alok
dan gerakan tubuh yang berputar-putar. Seni ini sudah ada sejak dahulu, biasanya
dalam acara tertentu seperti Khol Syeh Abdul Khodir Jailani, Rasullan, dan
acara keagamaan lainya.
UBRUG BANTEN
Istilah
ubrug diambil dari bahasa Sunda yaitu saubrug-ubrug yang artinya bercampur
baur. Dalam pelaksanannya, kesenian ubrug ini kegiatannya memang bercampur
yaitu antara pemain/pelaku dengan nayaga yang berada dalam satu tempat atau
arena. Namun ada pendapat bahwa ubrug diambil dari kata sagebrug yang artinya
apa yang ada atau seadanya dicampurkan, maksudnya yaitu antara nayaga dan
pemain lainnya bercampur dalam satu lokasi atau tempat pertunjukan.
Waditra yang digunakan dalam ubrug yaitu kendang
besar, kendang kecil, goong kecil, goong angkeb (dulu disebut katung angkub
atau betutut), bonang, rebab, kecrek dan ketuk. Alat-alat ini dibawa oleh satu
orang yang disebut tukang kanco karena alat pemikulnya bernama kanco yaitu
tempat menggantungkan alat-alat tersebut.
Busana yang dipakai yaitu: juru nandung mengenakan pakain tari lengkap dengan
kipas untuk digunakan pada waktu nandung. Pelawak atau bodor pakaiannya
disesuaikan dengan fungsinya sebagai pelawak yang harus membuat geli penonton.
Bagi nayaga tidak ada ketentuan, hanya harus memakai pakaian yang rapi dan
sopan dan pakaian pemain disesuaikan dengan peran yang dibawakannya.
Urutan pertunjukan ubrug yakni sebagai berikut : (1) Tatalu — gamelan ditabuh
sedemikian rupa sehingga kedengaran semarak selama 10-15 menit yang dimulai
pada pukul 21.00 WIB. (2) Lalaguan – Ini kemudian disambung tatalu singkat
sekitar 2 menit dilanjutkan dengan Nandung. (3) Lawakan — lakon atau cerita
yang akan disuguhkan. (4) Soder — yaitu beberapa ronggeng keluar dengan
menampilkan goyang pinggulnya. Para pemain memakaikan kain, baju, topi atau
yang lainnya ke tubuh ronggeng. Sambil dipakai, para ronggeng terus menari
beberapa saat dan kemudian barang-barang tadi dikembalikan kepada pemiliknya
dan si pemilik menerima dengan bayaran seadanya. Soder berlangsung + 20-30
menit.
Untuk penerangan digunakan lampu blancong, yaitu lampu minyak tanah yang
bersumbu dua buah dan cukup besar yang diletakkan di tengah arena. Lampu
blancong ini sama dengan oncor dalam ketuk tilu, sama dengan lampu gembrong
atau lampu petromak.
Ubrug dipentaskan di halaman yang cukup luas dengan tenda seadanya cukup dengan
daun kelapa atau rumbia. Pada saat menyaksikan ubrug, penonton mengelilingi
arena.
Sekitar tahun 1955, ubrug mulai memakai panggung atau ruangan, baik yang
tertutup ataupun terbuka di mana para penonton dapat menyaksikannya dari segala
arah.
TARI COKEK BANTEN
Cokek adalah
sebuah tarian tradisional dari daerah Tangerang yang dimainkan kali pertama
sekitar abad ke-19. Ketika itu, tarian ini diperkenalkan oleh Tan Sio Kek,
seorang tuan tanah
Tionghoa di
Tangerang yang sedang merayakan pesta. Dalam perayaan pesta itu, Tan Sio Kek
mengundang beberapa orang ternama yang tinggal di Tangerang. Tan Sio Kek
mengundang juga tiga orang musisi yang berasal dari daratan Cina. Ketika itu,
para musisi Cina hadir sambil membawa beberapa buah alat musik dari negara
asalnya.
Salah satu
alat musik yang mereka bawa yakni Rebab Dua Dawai. Atas permintaan Tan Sio Kek,
musisi itu kemudian memainkan alat musik yang mereka bawa dari daratan Cina.
Pada saat yang bersamaan, grup musik milik Tan Sio Kek juga memainkan beberapa
alat musik tradisional dari daerah Tangerang, seperti seruling, gong serta
kendang.
Lantunan
nada dari perpaduan alat musik daratan Cina dan Tangerang itu kemudian dikenal
dengan nama musik Gambang Kromong. Untuk meramaikan suasana pesta, Tan Sio Kek
menghadirkan tiga orang wanita. Sesuai permintaan Tan Sio Kek, mereka menari
mengikuti alunan musik yang dimainkan para musisi. Para tamu yang menghadiri
pesta menyebut ketiga penari itu Cokek. Konon, Cokek merupakan sebutan bagi
anak buah Tan Sio Kek. Sejak saat itulah, masyarakat Tangerang di provinsi
Banten mulai mengenal nama tari Cokek.
Jika awalnya, tari Cokek hanya dimainkan oleh tiga orang penari wanita. Kini,
pertunjukan Cokek seringkali dimainkan oleh 5 hingga 7 orang penari wanita dan
beberapa orang lelaki sebagai pemain musik. Setiap kali pertunjukan, penampilan
penari Cokek disesuaikan dengan ciri khas wanita Banten yakni mengenakan kebaya
dan kain panjang sebagai bawahan. Biasanya, warna kebaya yang dikenakan para
penari Cokek relatif berkilau ketika terkena sinar lampu, seperti hijau, merah,
kuning, serta ungu. Yang tak pernah ketinggalan dari penari Cokek yakni sehelai
selendang.
Di daerah Tangerang, tari Cokek biasanya dimainkan sebagai pertunjukan hiburan
saat warga Cina Benteng menyelenggarakan pesta pernikahan. Warga Cina Benteng
merupakan warga Tionghoa keturunan yang tinggal di daerah Tangerang.
Seringkali, tarian ini juga dimainkan sebagai tari penyambutan bagi tamu
kehormatan yang berkunjung ke Tangerang.
Lantunan musik Gambang Kromong dan gerakan penari yang terlihat gemah gemulai
menjadi ciri khas dari pertunjukan tari Cokek. Di tengah pertunjukan, penari
Cokek biasanya turun ke barisan penonton untuk memilih siapa yang akan diajak
untuk menari bersama. Setiap kali tari Cokek dimainkan, tidak semua penari
dapat menari bersama penari Cokek.
Jika
pertunjukan Cokek diselenggarakan untuk acara pernikahan, penari Cokek biasanya
mengajak pengantin lelaki atau beberapa orang tamu undangan untuk menari
bersama. Ketika diselenggarakan untuk menyambut tamu kehormatan, pejabat
setempat dan tamu kehormatan itulah yang mendapat kesempatan pertama menari
bersama penari Cokek.
Tanda ajakan dari penari
yakni sehelai selendang yang dikalungkan ke leher para tamu. Masyarakat
Tangerang beranggapan, jika sehelai selendang dari penari Cokek telah
dikalungkan, pantang bagi tamu itu ataupun siapa saja untuk menolak. Penolakan
itu diyakini dapat mencemarkan nama baik mereka sendiri. Biasanya, para tamu itulah
yang nantinya menari bersama para penari Cokek hingga pertunjukan tari
Cokek.
DOG DOG LOJOR BANTEN
Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan
atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun
(berbatasan dengan Sukabumi, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan
dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga
digunakan angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali,
setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di
pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot
(sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena
mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi
mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran
dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah
menganut agama Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan
kesenangan duniawi bisa dinikmatinya.
Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak
sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu
digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan
lainnya. Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah 2 buah
dogdog lojor dan 4 buah angklung besar. Keempat buah angklung ini mempunyai
nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan
inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam
orang.
SUKU BADUY
Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo
Wilayah kanekes bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Tidak heran bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa sunda dialek Sunda-Banten. Namun mereka juga lancar menggunakan Bahasa Indonesia ketika berdialog dengan penduduk luar.
Suku Baduy sendiri terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam. Yaitu kelompok Baduy yang paling ketat mengikuti adat mereka. Terdapat tiga kampung pada kelompok Baduy dalam yaitu: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas orang Baduy Dalam adalah mereka mengenakan pakaian yang berwarna putih alami dan biru tua serta mengenakan ikat kepala putih. Kelompok yang kedua adalah Baduy Luar atau dikenal sebagai kelompok masyarakat panamping. Yang berciri mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Dan tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Lain halnya kelompok ketiga disebut dengan Baduy Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes tidak seperti Baduy Dalam dan Luar. dan saat ini hanya 2 kampung yang tersisa yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kepercayaan Suku Baduy atau masyarakat kanekes sendiri sering disebut dengan Sunda Wiwitan yang berdasarkan pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin berkembang dan dipengaruhi oleh agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan Hindu. Namun inti dari kepercayaan itu sendiri ditunjukkan dengan ketentuan adat yang mutlak dengan adanya “pikukuh” ( kepatuhan) dengan konsep tidak ada perubahan sesedikit mungkin atau tanpa perubahan apapun.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. masyarakatnya mengunjungi lokasi tersebut dan melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan kalima. Hanya ketua adat tertinggi puun dan rombongannya yang terpilih saja yang dapat mengikuti rombongan tersebut. Di daerah arca tersebut terdapat batu lumping yang dipercaya apa bila saat pemujaan batu tersebut terlihat penuh maka pertanda hujan akan banyak turun dan panen akan berhasil, dan begitu juga sebaliknya, jika kering atau berair keruh pertanda akan terjadi kegagalan pada panen.
Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten. Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
RUMAH ADAT BADUY
Rumah
adatnya adalah rumah panggung yang beratapkan daun atap dan lantainya dibuat
dari pelupuh yaitu bambu yang dibelah-belah. Sedangkan dindingnya terbuat dari
bilik (gedek). Untuk penyangga rumah panggung adalah batu yang sudah dibuat
sedemikian rupa berbentuk balok yang ujungnya makin mengecil seperti batu yang
digunakan untuk alas menumbuk beras. Rumah adat ini masih banyak ditemukan di
daerah yang dihuni oleh orangKanekes atau disebut juga orang Baduy.
GOLOK BANTEN
Golok adalah pisau
besar dan berat yang digunakan sebagai alat berkebun sekaligus senjata yang
jamak ditemui di Asia Tenggara. Hingga saat ini kita juga bisa melihat golok
digunakan sebagai senjata dalam silat.
Ukuran, berat, dan bentuknya bervariasi tergantung
dari pandai besi yang membuatnya. Golok memiliki bentuk yang hampir serupa
dengan machete tetapi golok cenderung lebih pendek dan lebih berat,
dan sering digunakan untuk memotong semak dan dahan pohon. Golok biasanya
dibuat dari besi baja karbon yang lebih lunak daripada pisau besar lainnya di
dunia. Ini membuatnya mudah untuk diasah tetapi membutuhkan pengasahan yang
lebih sering.